|- Waspadai Fase Galau Aktifis Dakwah-|
Sahabatku, dakwah tak selamanya mulus jalannya. Kadang ada kerikil-kerikil tajam yang membuat dakwah kita merasa stagnan.
Kembang kempisnya dakwah yang kita lakukan, bisa jadi salah satunya
karena faktor internal kita sendiri yang kadang kurang tahan uji. Maka
dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi kepada sahabat dakwah sekalian,
tentang pentingnya mewaspdai fase-fase dimana seorang aktivitas dakwah
bisa galau, futur, dan sejenisnya.
Fase pertama adalah kuliah.
Bagi yang lulus SMA kemudian memilih untuk kuliah, tentu tidak sedkit
yang menyisakan masalah bagi dakwah. Kalau disederhanakan persoalannya
ada pada penjagaan idealisme sebagi mahasiswa muslim yang berkarakter
perubah. Idealisme tersebut, kadang berbenturan dengan persoalan dirinya
di mata teman-teman kampus. Apalagi yang merasa sendirian berdakwah di
kampus. Maka ibarat seseorang yang senantiasa terkena pukulan
berkali-kali, ketika mendapati fakta yang ada disekitarnya bertentangan
dengan idealisme.
Selanjutnya bagi dia, dakwah akan bisa jadi
kambing hitam, penghambat dapat IP bagus, pergaulannya dengan
teman-teman sekampus, dan sebagainya. Ujung-ujungnya kalau si mahasiswa
tersebut tidak kuat menahan godaan, maka idealismenya yang tergadaikan,
dia memilih kuliah oriented. Dipikirnya dengan fokus kuliah dan
meninggalkan dakwah, akan mendapat IP bagus, sekaligus bisa menyenangkan
orang tua. Dipikirnya, dengan meninggalkan dakwah, maka masalah
selesai.
Tapi faktanya, IP-nya tetap saja jeblok. Artinya,
masalahnya bukan pada benturan antara dakwah dengan kuliah, tapi karena
kita saja yang kurang pandai menata waktu dan atau dalam menyikapi
persoalan hidup.
Fase kedua adalah problem pekerjaan. Anggap
saja si mahasiswa tadi sudah lulus, maka masalah yang harus segera
diselesaikan adalah mencari pekerjaan yang layak. Karena apalah artinya
kuliah jika akhirnya menganggur. Apalagi kalau ternyata sedari awal
adalah perantau. Sudah kuliah dibiayai orang tua, di tempat nun jauh
disana, setelah lulus kuliah, koq menganggur.
Lalu bagaimana
dengan dakwahnya? Kalau tidak terlalu kuat tsaqofahnya, atau tidak teguh
idealismenya, tentu dakwah akan jadi problem tersendiri baginya.
Pilihan baginya ada 2; tetap bertahan di dakwah dengan menyisakan
persoalan pekerjaan atau keluar dari dakwah dan enjoy dengan dunia
kerjanya. Sekali lagi, idealisme perjuangan seorang pengemban dakwah
disini, di tempat kerjanya diuji. Ada yang susah mencari pekerjaan, ada
juga yang sudah dapat pekerjaan, tapi pekerjaan itu bertentangan dengan
idealismenya. Ritme pekerjaan tidak berbanding lurus dengan ritme
dakwah. Maka buah simalakama, hadir saat itu untuk menguji aktivis
dakwah ini.
Fase ketiga adalah Keluarga. Anggap saja, si
pekerja tadi sudah mendapatkan pekerjaan tetap, atau penghasilan. Nah,
berikutnya dia akan diuji oleh masalah keluarga. Keluarga yang dimaksud
disini bisa bermakna kesulitan untuk bisa berkeluarga (menikah), atau
punya keluarga yang tidak mendukung dakwah. Masalah pekerjaan bagi yang
sudah dapat pekerjaan tapi masih belum mampu berkeluarga.
Gaji
yang didapatkannya setelah dihitung-hitung ternyata belum cukup untuk
bisa hidup bersama pasangannya. Gajinya hanya mungkin cukup untuk jajan
sebagai anak kost atau sekedar buat beli minyak tanah untuk ibunya di
rumah. Di sisi lain, jodoh tak jua menghampiri atau memang para calon
isteri itu tidak mau dijodohkn dengan yang gajinya untuk beli bajunya
saja tidak cukup.
Di waktu yang lain, ada juga aktivis dakwah
sekaligus pekerja yang akhirnya dengan kondisi serba pas-pasan, bukan
berani, tapi lebih tepatnya mungkin nekad untuk menikah. Maka pernikahan
pun dilakukan, dengan sisa-sisa idealismenya. Mencoba untuk membuat
ideal pernikahannya, tapi usahanya sia-sia, karena si isteri tidak
se-idealisme. Tapi karena sudah terlanjur dipilih untuk menemani sisa
hidupnya, maka dia seperti bertekuk lutut dibawah standar idealismenya.
Sahabat, persoalan tiga fase di atas adalah akumulasi dan asumsi saya
demi melihat teman-teman saya yang datang dengan menggendong keluhannya.
Tanpa bermaksud menggurui, mari bersama-sama saya mencari jalan terang
agar jikalau salah satu ujian menimpa kita, maka kita sudah siap
menghadapinya. Pertama: kita harus tanamkan dan harus jadi persepsi
bahwa dakwah adalah wajib sementara probelm hidup adalah keharusan kita
untuk siap menghadapinya. Dakwah ini tetap harus jadi poros hidup kita,
apapun masalahnya.
Kedua: Jangan pernah memberi kesempatn pada
pikiran kita untuk menyimpang atau meremehkan penyimpangan dakwah
sebagai kemaksiatan kecil. Sejengkal saja kita menyimpang dari thariqah
(metode) dakwah, maka itu sebuah kemaksiatan. Mengabaikan kemaksiatan
sama saja dengan membiarkan kita menumpuk dosa. Maka jangan pernah
tinggalkan dakwah dan jangan pernah terpikir untuk menyimpang.
Ketiga: hadapi dengan gagah setiap prsoalan hidup, apalagi yang
kaitannya dengan dakwah, karena hampir tidak ada fase-fase hidup kita
yang terbebas dari masalah. Maka jika kita sudah tahu bahwa masalah itu
tetap akan datang pada saat kita dakwah ataupun tidak dakwah, tentu kita
akan lebih memilih membangun benteng kokoh daripada meninggalkan dakwah
karena sebuah masalah.
Keempat: Saksikan dan simaklah kisah
heroik para pendakwah pendahulu kita dalam keteguhan, istiqomah dan
cerdas ketika tetap harus berdakwah dan menghadapi persoalan hidup. Mari
bersama-sama saya, tengoklah surat cinta dari Allah Sang Maha Cinta,
dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3: “Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar