#trik_pojok { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }

aida

Rabu, 11 September 2013

|- Waspadai Fase Galau Aktifis Dakwah-|
Sahabatku, dakwah tak selamanya mulus jalannya. Kadang ada kerikil-kerikil tajam yang membuat dakwah kita merasa stagnan. Kembang kempisnya dakwah yang kita lakukan, bisa jadi salah satunya karena faktor internal kita sendiri yang kadang kurang tahan uji. Maka dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi kepada sahabat dakwah sekalian, tentang pentingnya mewaspdai fase-fase dimana seorang aktivitas dakwah bisa galau, futur, dan sejenisnya.

Fase pertama adalah kuliah. Bagi yang lulus SMA kemudian memilih untuk kuliah, tentu tidak sedkit yang menyisakan masalah bagi dakwah. Kalau disederhanakan persoalannya ada pada penjagaan idealisme sebagi mahasiswa muslim yang berkarakter perubah. Idealisme tersebut, kadang berbenturan dengan persoalan dirinya di mata teman-teman kampus. Apalagi yang merasa sendirian berdakwah di kampus. Maka ibarat seseorang yang senantiasa terkena pukulan berkali-kali, ketika mendapati fakta yang ada disekitarnya bertentangan dengan idealisme.

Selanjutnya bagi dia, dakwah akan bisa jadi kambing hitam, penghambat dapat IP bagus, pergaulannya dengan teman-teman sekampus, dan sebagainya. Ujung-ujungnya kalau si mahasiswa tersebut tidak kuat menahan godaan, maka idealismenya yang tergadaikan, dia memilih kuliah oriented. Dipikirnya dengan fokus kuliah dan meninggalkan dakwah, akan mendapat IP bagus, sekaligus bisa menyenangkan orang tua. Dipikirnya, dengan meninggalkan dakwah, maka masalah selesai.

Tapi faktanya, IP-nya tetap saja jeblok. Artinya, masalahnya bukan pada benturan antara dakwah dengan kuliah, tapi karena kita saja yang kurang pandai menata waktu dan atau dalam menyikapi persoalan hidup.

Fase kedua adalah problem pekerjaan. Anggap saja si mahasiswa tadi sudah lulus, maka masalah yang harus segera diselesaikan adalah mencari pekerjaan yang layak. Karena apalah artinya kuliah jika akhirnya menganggur. Apalagi kalau ternyata sedari awal adalah perantau. Sudah kuliah dibiayai orang tua, di tempat nun jauh disana, setelah lulus kuliah, koq menganggur.

Lalu bagaimana dengan dakwahnya? Kalau tidak terlalu kuat tsaqofahnya, atau tidak teguh idealismenya, tentu dakwah akan jadi problem tersendiri baginya. Pilihan baginya ada 2; tetap bertahan di dakwah dengan menyisakan persoalan pekerjaan atau keluar dari dakwah dan enjoy dengan dunia kerjanya. Sekali lagi, idealisme perjuangan seorang pengemban dakwah disini, di tempat kerjanya diuji. Ada yang susah mencari pekerjaan, ada juga yang sudah dapat pekerjaan, tapi pekerjaan itu bertentangan dengan idealismenya. Ritme pekerjaan tidak berbanding lurus dengan ritme dakwah. Maka buah simalakama, hadir saat itu untuk menguji aktivis dakwah ini.

Fase ketiga adalah Keluarga. Anggap saja, si pekerja tadi sudah mendapatkan pekerjaan tetap, atau penghasilan. Nah, berikutnya dia akan diuji oleh masalah keluarga. Keluarga yang dimaksud disini bisa bermakna kesulitan untuk bisa berkeluarga (menikah), atau punya keluarga yang tidak mendukung dakwah. Masalah pekerjaan bagi yang sudah dapat pekerjaan tapi masih belum mampu berkeluarga.

Gaji yang didapatkannya setelah dihitung-hitung ternyata belum cukup untuk bisa hidup bersama pasangannya. Gajinya hanya mungkin cukup untuk jajan sebagai anak kost atau sekedar buat beli minyak tanah untuk ibunya di rumah. Di sisi lain, jodoh tak jua menghampiri atau memang para calon isteri itu tidak mau dijodohkn dengan yang gajinya untuk beli bajunya saja tidak cukup.

Di waktu yang lain, ada juga aktivis dakwah sekaligus pekerja yang akhirnya dengan kondisi serba pas-pasan, bukan berani, tapi lebih tepatnya mungkin nekad untuk menikah. Maka pernikahan pun dilakukan, dengan sisa-sisa idealismenya. Mencoba untuk membuat ideal pernikahannya, tapi usahanya sia-sia, karena si isteri tidak se-idealisme. Tapi karena sudah terlanjur dipilih untuk menemani sisa hidupnya, maka dia seperti bertekuk lutut dibawah standar idealismenya.

Sahabat, persoalan tiga fase di atas adalah akumulasi dan asumsi saya demi melihat teman-teman saya yang datang dengan menggendong keluhannya. Tanpa bermaksud menggurui, mari bersama-sama saya mencari jalan terang agar jikalau salah satu ujian menimpa kita, maka kita sudah siap menghadapinya. Pertama: kita harus tanamkan dan harus jadi persepsi bahwa dakwah adalah wajib sementara probelm hidup adalah keharusan kita untuk siap menghadapinya. Dakwah ini tetap harus jadi poros hidup kita, apapun masalahnya.

Kedua: Jangan pernah memberi kesempatn pada pikiran kita untuk menyimpang atau meremehkan penyimpangan dakwah sebagai kemaksiatan kecil. Sejengkal saja kita menyimpang dari thariqah (metode) dakwah, maka itu sebuah kemaksiatan. Mengabaikan kemaksiatan sama saja dengan membiarkan kita menumpuk dosa. Maka jangan pernah tinggalkan dakwah dan jangan pernah terpikir untuk menyimpang.

Ketiga: hadapi dengan gagah setiap prsoalan hidup, apalagi yang kaitannya dengan dakwah, karena hampir tidak ada fase-fase hidup kita yang terbebas dari masalah. Maka jika kita sudah tahu bahwa masalah itu tetap akan datang pada saat kita dakwah ataupun tidak dakwah, tentu kita akan lebih memilih membangun benteng kokoh daripada meninggalkan dakwah karena sebuah masalah.

Keempat: Saksikan dan simaklah kisah heroik para pendakwah pendahulu kita dalam keteguhan, istiqomah dan cerdas ketika tetap harus berdakwah dan menghadapi persoalan hidup. Mari bersama-sama saya, tengoklah surat cinta dari Allah Sang Maha Cinta, dalam surat Al-Ankabut ayat 2-3: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. “

Senin, 24 Desember 2012

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab : 59)

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS An-Nur : 31)

Selasa, 12 Juni 2012

Nasehat

            Al-Hasan Al-Bashri mengatakan,

” Wahai manusia , sungguh aku akan memberikan nasehat padahal aku bukanlah orang yang paling shahih dan paling baik diantara kalian. Sungguh aku juga memiliki banyak maksiat , tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku agar selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasehat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya, niscaya hilanglah paemberi nasehat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi,1/410)

Kamis, 17 Februari 2011

Bukti Keakuratan Bilangan Dalam Quran

Penyebutan angka atau bilangan dalam Alquran, tujuannya agar menjadi ujian bagi orang kafir dan bertambahnya keimanan bagi orang yang beriman.

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190).

”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS Yunus: 5).

”Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang Mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan? ‘Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS Muddatstsir: 31).

”Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (QS Al-Israa: 88).

Ayat-ayat di atas merupakan beberapa contoh yang disebutkan Allah dalam Alquran mengenai keberadaan angka-angka (bilangan). Tujuannya agar manusia itu menggunakan akalnya untuk berpikir dan meyakini apa yang telah diturunkan, yakni Alquran. Allah menciptakan alam semesta ini dengan perhitungan yang matang dan teliti. Ketelitian Allah itu pasti benar. Dan, Dia tidak menciptakan alam ini dengan main-main. Semuanya dibuat secara terencana dan perhitungan.

Abah Salma Alif Sampayya, penulis buku Keseimbangan Matematika dalam Alquran , menyatakan, bilangan adalah roh dari matematika dan matematika merupakan bahasa murni ilmu pengetahuan ( lingua pura ). Setiap bilangan memiliki nilai yang disebut dengan angka. Peranan matematika dalam kehidupan pernah dilontarkan oleh seorang filsuf, ahli matematika, dan pemimpin spiritual Yunani, Phitagoras (569-500 SM), 10 abad sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Phitagoras mengatakan, angka-angka mengatur segalanya.

Kemudian, 10 abad setelah kelahiran Rasulullah SAW, Galileo Galilea (1564-1642 M), mengatakan: Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menulis alam semesta). Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempercayai kekuatan angka-angka (bilangan) di dalam kehidupan. Senada dengan pendapat Galileo, Carl Sagan, seorang fisikawan dan penulis novel fiksi ilmiah, mengatakan, matematika sebagai bahasa yang universal.

Dalam Alquran disebutkan sejumlah angka-angka. Di antaranya, angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 19, 20, 30, 40, 80, 100, 200, 1000, 2000, 10 ribu, hingga 100 ribu. Penyebutan angka-angka ini, bukan asal disebutkan, tetapi memiliki makna yang sangat dalam, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, ketika ada yang bertanya mengenai jumlah penjaga neraka Saqar, dalam surah al-Muddatstsir ayat 31 disebutkan sebanyak 19 orang. Allah menciptakan langit dan bumi selama enam masa. Tuhan adalah satu (Esa), bumi dan langit diciptakan sebanyak tujuh lapis, dan lain sebagainya.

Penyebutan angka-angka ini, menunjukkan perhatian Alquran terhadap bidang ilmu pengetahuan, khususnya matematika. Yang sangat menakjubkan, beberapa angka-angka yang disebutkan itu memiliki keterkaitan antara yang satu dan lainnya. Bahkan, di antaranya tak terpisahkan. Begitu juga, ketika banyak ulama dan ahli tafsir berdebat mengenai jumlah ayat yang ada didalam Alquran. Sebagian di antaranya menyebutkan sebanyak 6.666 ayat, 6.234 ayat, 6.000 ayat, dan lain sebagainya. Perbedaan ini disebabkan adanya metode dalam perumusan menentukan sebuah ayat.

Bismillahirrahmanirrahim yang diletakkan sebagai kalimat pembuka dari keseluruhan ayat dan surah di dalam Alquran, memiliki susunan angka yang sangat menakjubkan. Kalimat basmalah itu bila dihitung hurufnya mulai dari ba hingga mim, berjumlah 19 huruf. Angka 19 ini, ternyata menjadi ‘kunci utama’ dalam bilangan jumlah surah, jumlah ayat, dan lainnya di dalam Alquran.

Begitu juga dengan angka tujuh, bukanlah sekadar menyebutkan angkanya, tetapi memiliki perhitungan dan komposisi yang sangat tepat. Misalnya, jumlah ayat dalam surah Al-Fatihah sebanyak tujuh ayat dan jumlah surah-surah terpanjang dalam Alquran (lebih dari 100 ayat) berjumlah tujuh surah.

“Penyebutan angka-angka itu bukanlah secara kebetulan atau asal bunyi (asbun). Semuanya sudah ditetapkan oleh Allah dengan komposisi yang jelas dan akurat. Tidak ada kesalahan sedikit pun. ”Kitab (Alquran) ini tak ada keraguan di dalamnya dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 2).

”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’‘ (QS Al-Baqarah: 23).

“(Alquran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS Ibrahim: 52).

Karena itulah, Stephen Hawking, seorang ilmuwan dan ahli matematika terkenal, yang pada awalnya tidak membutuhkan hipotesis Tuhan dalam mempelajari alam semesta, meyakini adanya unsur matematika yang mengagumkan yang melekat di dalam struktur kosmos (alam semesta). Hawking mengatakan, ”Tuhanlah yang berbicara dengan bahasa itu.”

Hal yang sama juga diungkapkan Albert Einstein, fisikawan terkenal dan penemu bom atom. ”Tuhan tidak sedang bermain dadu,” ungkap Einstein. Semua berdasarkan perhitungan, ukuran, dan perencanaan yang matang, bahkan ketika dentuman besar ( big bang ) pertama, di mana Allah dengan kata Kun Fayakun -nya, menciptakan alam semesta dalam hitungan t=0 hingga detik 10 pangkat minus 43 detik.

Stephen Hawking mengatakan, ”Seandainya pada saat dentuman besar terjadi kurang atau lebih cepat seperjuta-juta detik saja, alam semesta tidak akan seperti (sekarang) ini”. Itulah rahasia Allah. Semua yang disebutkan-Nya di dalam Alquran, menjadi tanda dan petunjuk bagi umat manusia, agar mereka beriman dan meyakini kebenaran pada kitab yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Wa Allahu A’lam.

Keistimewaan dan keajaiban angka-angka yang ada dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan bukti keteraturan dan keseimbangan yang dilakukan oleh Sang Pencipta dalam menyusun dan membuat Alquran serta alam semesta. Tak mungkin manusia mampu melakukan keseimbangan dan keteraturan yang demikian sempurna itu dalam sebuah hasil karyanya, selain Allah SWT.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 2-3, Allah menjelaskan tujuan dari diturunkannya Alquran, yakni menjadi petunjuk bagi umat manusia untuk membedakan antara yang hak (benar) dan yang batil (salah). Sebab, tidak ada yang perlu diragukan lagi semua keterangan Alquran. Karena itulah, seluruh umat Islam di dunia ini, wajib untuk meyakini dan mempercayai kebenaran Alquran.

Penyebutan angka-angka dan keteraturan yang terdapat di dalamnya, merupakan bukti keistimewaan dan kemukjizatan Alquran. Keseimbangan dan keteraturan sistem numerik (bilangan) dalam Alquran dengan penciptaan alam semesta, menggambarkan hanya Allah SWT sebagai Tuhan yang satu.

”Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang Mukmin itu tidak ragu-ragu.” (QS Al-Muddatstsir: 31).

Rabu, 16 Februari 2011

Aida Lc92 Slideshow

Aida Lc92 Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Aida Lc92 Slideshow ★ to Ternate by Aida . Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"